-
Kagum Tak
Berdosa -
Renata
melamun terbaring di atas ranjang bambu di teras rumah
Bulan
ini, ialah bulan kelahirannya menuju 21. Hari itu hari Sabtu pukul 7 pagi namun
pikirannya melesat menuju masa tepat 3 tahun yang lalu di hari yang sama.
“Renata
di asrama baik baik aja kok bun” ujar nya riang di telpon
“Sama
sekali gak ada masalah nak?” Nada khawatir bunda
“Renata
baik baik ko, seneng malah” suara sedikit parau
“oke
deh, jangan lupa kabarin bunda”. Meningkat satu oktav nada suara
“oke
siap” berusaha riang.
Sore
itu, tepat pukul 4 sore setelah pelajaran tambahan Rena panggilan akrabnya
melamun setelah menutup telpon dari bundanya. Ia tak mau menceritakan kejadian
memalukan tadi.
Malam
itu, setelah shalat berjamaah dan mengaji bersama ia memutuskan untuk tidur,
pikiran nya tidak karuan, sangat kacau.
Keesokan
harinya
Di
sekolah. Boarding School ini cukup dekat jaraknya dengan asrama jika berjalan
kaki , kira kira 5-10 menit hingga sekolah. Hanya asrama yang di pisah, tidak
dengan kelas, semua anak dapat berbaur laki-laki dengan perempuan.
Pagi
itu pukul 06.30. Rena dengan perasaan tidak nyaman membuat ia menilai hari itu
bukan hari yang baik baginya. Ia memutuskan untuk berangkat lebih awal dan
meninggalkan teman teman nya yang sedang sarapan.
Di jalan
“Neng,
senyum dong, ngapa lu?” sapa seorang ibu warung depan asrama yang tengah
membereskan dagangannya dengan gaya bahasa betawi setempat.
“kagak
mpok, masih ngantuk aja haha. Berangkat dulu ya mpok”. Sudah biasa disana
berbicara menggunakan logat betawi.
“oh
yaudah, nih susu kotak buat lu, jangan bilang temen lu yaak ntar pada nyerbu
warung mpok, itung itung hadiah buat lu neng” hibur mpok hindun pada Rena.
“oh iyaa
mpok, kagak bakal dah Rena ribut, makasih banyak ya mpok, berangkat dulu,
Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Setiap
malam menjelang setelah shalat maghrib hingga pulang sekolah Handphone para
siswa yang tinggal di asrama wajib dikumpulkan, tujuannya agar lebih fokus
belajar baik disekolah maupun pelajaran agama di asrama, dan menghubungi
orangtua ketika pada waktunya, jika ada urusan penting orangtua telah paham
kepada siapa mereka menghubungi, yakni mentor di asrama baik asrama putri
maupun putra.
“bete
amat gua hari ini” ujar Rena dalam hati
“coba
aja ada handphone, nelpon bunda deh minta di jemput ke Bandung” lanjutnya,
namun kali ini suara nya cukup terdengar, hingga orang yang melihat ia sedang
berbicara sendiri.
“Ren!”
teriakan seorang laki laki terdengar terengah karena berlari.
Renata
diam.
“Ren,
teu ngadenge?”. Bahasa akrab cenderung kasar menghiasi hari mereka berdua.
“Apa”
jawaban malas
“senyum
dong.” Hibur Hakam lelaki yang selalu ada disamping Rena
“Naon
sih” Rena ketus
“ulah
sedih, ngke ku urang di traktir” salah satu sogokan Hakam yang selalu berhasil
menghibur.
“haha
asiik”
“nah
gitu dong itu Renata nya Hakam” goda Hakam
“duh
kuingin salto. urang nu bapa urang”
“dan
punya dia?”
“iya lah
hahha, kagak deng pacaran sama orang di masa SMA tuh hiburan, kagak tau dah
kita dimasa depan bakalan sama siapa, yang penting kita sekarang, yang nentuin
kita mau jaga diri atau nakal di masa muda itu kita sendiri”
“duuh kuingin
mudik. Wise amat lu, urang gak minta di ceramahin, urang juga tau makanya urang
kagak mau lu cemberut gara-gara cowok, apalagi Cuma gara gara si anak osis
siapa dah? Budi haha”
“Bari
kali Budi , Budiman Bus malam”
“Bodo
amat, pokonya Renata nya Hakam kagak boleh di bikin nangis”
“duuh
kuingin muntang. Iya deh Hakam , thanks for all”
“udah
nyampe, urang ke kelas dulu yak, lu jangan lupa jalan pulang, urang Rumah lu”
Renata
diam.
Hakam
Senyum.
Renata
dan Hakam berasal dari Kota yang sama yakni Bandung, mereka bertemu di Jakarta
saat daftar di National Senior High Boarding School, orangtua Hakam mengajak
orangtua Renata pulang bersama karena orangtua Renata tidak membawa kendaraan.
Hakam tertarik dan mulai peduli dengan Renata sejak pandangan pertama ketika ia
bertemu. Renata pribadi yang kuat, mudah bersosialisasi dan selalu ceria namun
kurang peka dengan perasaannya, meski begitu Hakam tidak peduli yang penting ia
selalu ada dan siap pasang tameng untuk Rena kapanpun.
“Ren, lu
kemarin gak apa apa?” ujar Erwin
“Engga
ko win, makasih ya udah nolongin”
“kaget
gua, ada orang jahat kaya gitu sekitar sini, ngelewat lagi sekali gua kejar
dah” Erwin bersemangat.
“gimana
lagi gua aja shock, lemes langsung gak bisa ngapa ngapain”
“tapi
bener sekarang udah gak apa apa ?
“baik-baik
aja ko, makasih ya win”
“tenang
aja ada gua, ada Hakam , ada Nirina, ada guru wali, ada guru Boarding lu
disini, jangan sungkan bilang kalo ada apa apa”
“okay,
thanks a lot Er”
Bel
berbunyi, waktunya apel pagi rutin di lapangan.
Renata,
Erwin dan Nirina berbaris di barisan kelasnya. Dan Hakam ada di barisan
kelasnya. Namun di tengah apel pagi seorang laki-laki berbaris menyelinap di
samping Renata, menyingkirkan Erwin ke belakang.
“Nata”
Ia diam,
Rena tau yang memanggil Nata hanya Bari dan Hakam, namun kali ini suara Bari, Kekasihnya.
“aku
denger kabar, kamu kena Jambret?”
Rena
mengangguk.
“Sabar
ya, Bari tau kamu ngedown, cerita
aja”
“oke,
makasih ya Bari”
“Bye,
Bari mau ke Barisan lagi, smile please!”
Senyum.
“Bye”.
Seketika
Renata mengingat jelas kejadian kemarin.
Siang
itu ketika Renata hendak mengirimkan berkas penting untuk keperluan perguruan
tinggi pada Bundanya, ia berljalan menuju Kantor POS, Berjalan menyusuri jalan
yang memang terbiasa sepi kecuali waktu berangkat dan pulang sekolah. Kiri
kanan Pohon Karet dan Aren dan terlihat hanya ada beberapa rumah dengan jarak
yang tidak berdampingan.
Ada
telpon.
“kamu
free hari ini?” suara Bari
“Mau
ke Kantor POS, ada apa?”
“Bisa
ke Rumah?” . Bari yang kebetulan bukan anak asrama, ia hanya satu sekolah
dengannya. Jadi sekolahnya yang ada kelas boarding hanya anak asrama.
“Engga,
abis ini mau Les” ucap Renata.
“oh
yaudah, bye”
“Bari
kenapa tiba tiba ngajak ke rumah?” gumam Renata.
Baru saja ia menutup telpon nya dari
Bari. Ada motor melintas dari arah berlawanan. Seperti mengawasi Renata sejak
tadi. Namun motor itu berhenti tepat 5 meter di belakang Renata. Sesekali Rena
menengok ke belakang, orang tersebut melihat dari kaca spion. Rena takut dan
berjalan lebih cepat dari sebelumnya. Namun suara motor itu tiba-tiba mendekat.
Dan kejadian itu tidak mampu ia lupakan.
Renata hanya bercerita pada Nirina.
Bahwa diri nya bukan hanya di Jambret, namun terkena pelecehan seksual meski
pelaku hanya baru menyentuh, kejadian itu cepat, namun ia terlanjur berlari
setelah menendang motor pelaku dan teriak, ia salah satu atlet bela diri, namun
tetap saja disaat begitu seorang wanita pada umumnya tak mampu menahan rasa
takut jika tertekan dan selalu muncul perasaan “merasa Kotor” meski untungnya
ia tidak dibawa kesuatu tempat dan di perlakukan lebih jahat dari itu, ia
beruntung dari Jauh Erwin berteriak dan mengejar namun tak terkejar karena pelaku
menaiki motor sangat kencang. Namun dari jauh Erwin hanya melihat pelaku
menJambret tas Renata, Erwin tidak melihat pelecehan yang terjadi. Beruntung
Renata memberontak.
“Hakam
mana?” tanya Nirina pada Erwin
Pertanyaan
itu membuyarkan lamunan Renata lagi.
“sebentar
lagi juga kesini, Tuh!” jawab Erwin sambil menunjuk kearah tangga.
“Hai
Erini, Nirmanto, Renot” Ledek Hakam yang Hobby mengubah nama orang seenaknya.
Huuu!
Lemparan kacang atom tepat pada sasaran di jidat Hakam.
“Siapa
yang berani lempar pangeran?”
“Urang,
ada masalah?” Renata ketus
“Eh
Renatanya Hakam, mau Baso mau?”
“lu
pikir urang nangkring lama mau nunggu Bari?”
“Budi
lagi Budi lagi, Hakam kali kali, yaudah bentar” Hakam mulai masam.
“nih
neng, tong, ko Cuma 2 mangkok? Ngirit amat bukannya kalian ber4 loh” (Tong adalah
Entong yakini panggilan untuk anak laki laki di betawi) ujar bang Boni
“kagak
bang, kita mah nyamuk disini, nemenin si Hakam yang gak pernah berhasil menju
hati Rena” ledek Nirina.
“OTEWE
bung, tenang, masa depan masih suci meski masa lalu ku gelap, jodohku masih
dijaga orang” Hakam sangat percaya diri.
Renata
diam. Ia kembali teringat dan merasa dirinya kotor hingga kini.
“Udah,
aku percaya kamu mampu anggap hal ini menjadi batu loncatan, meski jalan ini
gelap bagimu, masih banyak jalan aman, nyaman dan terang yang bisa kau lalui”
Bisik Nirina.
“ngomongin
urang, urang mempesona?” Hakam menepuk meja.
Renata
masih diam. Kali ini Hakam mengerti, masalah ini sangat berat terlebih setelah
Hakam tau apa yang terjadi sebenarnya dari cerita Nirina yang ia paksa untuk
memberi tahunya.
“Ren,
Minggu ini Hakam telpon Ayah, Hakam mau pulang ke Bandung, kau ikut ya, Hakam
tau kamu kangen Bunda mu.” Hakam berinisiatif sendiri tujuannya agar Rena lega.
“Oke
Kam, makasih banyaaak.” Senyum Renata kembali. Meski Hakam kasar, ia memiliki
sisi lembut yang lagi-lagi untuk Renata.
Bari
melihat dari jauh dengan wajah tak menyenangkan, karena Hakam selalu ada.
“Ren,
ada Bari” Bisik Nirina
“Oh iya
biarin nanti aja abis ini, tanggung” Rena asik seakan tak mau melewatkan
kenikmatan makan
Bari masih disana, ditempat yang
sama, senyum yang berbeda. Renata sesekali melihatnya, dan merasa kali ini Bari
benar benar berbeda.
Kantin siang itu sangat riuh, mereka
membicarakan sesuatu yang mengejutkan. Beberapa teman mengangkat topik yang di
duga apa yang Renata alami kemarin.
“heboh
ada cewe sekolah kita yang kena Jambret, lu liat?” mereka bernada suara tinggi
“gua
liat dari Jauh. Gua pake motor, gua kejar kan, si pelaku pake masker gitu,
kulit putih, tinggi nya se ukuran gua, pake jeans, kaos biru dongker dan
sweater abu, sepatu adidas biru dongker”
“lu gak
liat motor nya apa?, kasian kan temen satu sekolah kita, stress kayanya.”
“lupa,
kalo ga salah motor semi trail, warna hijau muda”
“plat
nya?”
“boro-
boro gua inget”
Hakam
mulai antusias, “gua duluan ke kelas”. Ucapnya sambil berlari
Seminggu
berlalu, tak ada kabar dari Bari begitu pula Hakam, hanya orangtua Hakam yang
datang menjemput Renata pulang ke Bandung.
Orangtua Hakam “Hakam lagi ada
urusan neng, kamu pulang sama tante ya, nanti Hakam nyusul katanya”.
Renata
hanya tersenyum, seolah apa yang terjadi pada dirinya tempo hari membuat
semangatnya berkurang.
Selama
Renata di Bandung, Nirina bercerita lewat video call, bahwa pelakunya diduga
kuat anak sekolahan mereka. Ciri-ciri yang jelas ia ceritakan pada Renata.
“Ren,
dia Bari” Nirina berbicara perlahan.
Renata
diam, kali ini ia kaget bukan main, perasaan kotor tentu saja masih sama.
“kamu
sabar ya, tinggal kamu yang pilih, 2 tahun sama Bari ternyata ia gini, kamu tahu
siapa yang memecahkan teka-teki ini?. Kali ini Nirina serius
Rena
tetap diam. Namun wajahnya berubah berkerut penuh tanya.
“Hakam”.
Nirina mengatakan dengan senyuman.
Saat itu ia tau Hakam tidak berkabar
begitu pula Bari, ia mendapat informasi Hakam di rawat karena luka keroyok,
namun dimana Hakam tidak ada yang memberi tahu, begitu pula orang tua hakam.
Entah bagaimana selanjutnya, ia tak
mampu mengingat lebih jauh karena kejadian itu sangat lama, kejadian itu
membuat Renata ketika menjadi Mahasiswa lebih supel dan super Freindly dan
menghindari hubungan dekat dengan laki-laki, yap pacaran, kali ini ia selalu
senang di sindir teman teman nya “Jomblo, Single, Belum laku” ia senang karena
ia merasa aman dengan keadaannya yang sekarang. Ia lebih menekuni pelajaran
agama dan umum di kuliahnya, jika ia sebut itu trauma mendalam, ya ia trauma,
sangat. Hingga jurusan yang ia ambil ialah Psikologi di universitas favorite di
Bandung, tujuannya menyembuhkan luka dirinya sendiri.
“Nata,
ayo makan” Teriakan bunda memecahkan lamunan Renata yang sedang mengenang.
“Oke
bun”.Renata tersenyum.
Semenjak
Lulus SMA mereka Renata dan Hakam tak pernah bertemu, kecuali saat upacara, Hakam
selalu menjadi pemimpin upacara karena ia Paskibraka Sekolah yang terpilih di
Provinsi Banten. Dan hingga kini. Mengenang kebaikan Hakam membuatnya senang.
Sore
itu Renata pergi ke Toko buku ditemani Bunda. Ia membeli Novel terbaru yang
katanya diangkat dari Wattpad (salah satu aplikasi tulisan, novel dan buku lain
karya orang orang seluruh dunia yang menggunakna Wattpad, didalamnya satu akun
bebas menulis karyanya, jika ada editor dan penerbit yang tertarik akan di
bukukan).
“Bun,
novel ini best seller bulan ini, aku beli ya”
“Boleh,
coba liat” Bunda mulai Kepo.
Renata
memberikan tanpa membaca dulu.
“Ren,
ini Hakam?”
“Hah?,
mana?”
Novel
Best Seller “Kagum Tak Berdosa”. Oleh Hakam Arshaka.
Renata
membuka novel dan membaca Epilog : (dihalaman terakhir)
“Mulai saat itu, aku sadar, aku tak berhasil
menjaga mu dalam dekat, dalam dekap. Lebam ku tak seberapa sakit dibanding daku
merasa sesal, aku gagal mengawasinya, karena aku lalai dia mengalami trauma
mendalam dalam hidupnya. Andai saat itu aku disana, di belakangnya
mengawasinya. Aku tak mau bertemu dengan mu selain dalam do’a. Mengingat hari
itu aku merasa tak mengagumkan. Biar Tuhan yang menulis takdir kita. Bagiku
menjauhimu adalah cara Tuhan memberi waktu untuk memperbaiki sayapmu yang
patah. Aku seorang pendaki yang belum
pernah berhasil mengambil bunga yang ada di puncak. Karena kagum tak berdosa,
sampai saat ini aku masih mengagumimu.”
Hakam
yang melanjutkan kuliah di Yogja tanpa Renata ketahui, diam diam ia menjaga
Rena dari jauh, mengawasi dan tentu mengagumi dari jauh. Dan berhasil membuat
Novel Best Seller dari Penerbit Yogyakarta.
“Hakam...
Hakamku.., urang baper, urang kangen, urang yang tak lagi mengagumkan geura
pulang, kuingin muntang. Semoga Tuhan melindungimu” . Bahasa yang sering di
gunakan ketika mereka berbicara. Renata sungguh Rindu.
Tetesan
air mata Renata meninggalkan Rindu yang sesak. Ia sadar, trauma psikologis nya
dapat sembuh alasannya, demi Hakam.
Done.
Cerita ini
hanya Fiktif belaka. Maaf bila ada kesalahan dan persamaan adegan *tsaah
kalimat akhir FTV.
Tamat
boleh, Bersambung mangga. Karena Kagum mah ga dosa.
Tertanda,
Makhluk Tuhan yang mengagumi Tuhan dan CiptaanNya.
Sofia
Farzanah Sulaeman.
Tasawuf
Psikoterapi 2014- D
ConversionConversion EmoticonEmoticon