wilujeng sumping

wilujeng sumping
-        Kagum Tak Berdosa -
Oleh : Sofia Farzanah Sulaeman a.k.a Ogut


Renata melamun terbaring di atas ranjang bambu di teras rumah
Bulan ini, ialah bulan kelahirannya menuju 21. Hari itu hari Sabtu pukul 7 pagi namun pikirannya melesat menuju masa tepat 3 tahun yang lalu di hari yang sama.

“Renata di asrama baik baik aja kok bun” ujar nya riang di telpon
“Sama sekali gak ada masalah nak?” Nada khawatir bunda
“Renata baik baik ko, seneng malah” suara sedikit parau
“oke deh, jangan lupa kabarin bunda”. Meningkat satu oktav nada suara
“oke siap” berusaha riang.

Sore itu, tepat pukul 4 sore setelah pelajaran tambahan Rena panggilan akrabnya melamun setelah menutup telpon dari bundanya. Ia tak mau menceritakan kejadian memalukan tadi.
Malam itu, setelah shalat berjamaah dan mengaji bersama ia memutuskan untuk tidur, pikiran nya tidak karuan, sangat kacau.

Keesokan harinya

Di sekolah. Boarding School ini cukup dekat jaraknya dengan asrama jika berjalan kaki , kira kira 5-10 menit hingga sekolah. Hanya asrama yang di pisah, tidak dengan kelas, semua anak dapat berbaur laki-laki dengan perempuan.
Pagi itu pukul 06.30. Rena dengan perasaan tidak nyaman membuat ia menilai hari itu bukan hari yang baik baginya. Ia memutuskan untuk berangkat lebih awal dan meninggalkan teman teman nya yang sedang sarapan.

Di jalan
“Neng, senyum dong, ngapa lu?” sapa seorang ibu warung depan asrama yang tengah membereskan dagangannya dengan gaya bahasa betawi setempat.
“kagak mpok, masih ngantuk aja haha. Berangkat dulu ya mpok”. Sudah biasa disana berbicara menggunakan logat betawi.
“oh yaudah, nih susu kotak buat lu, jangan bilang temen lu yaak ntar pada nyerbu warung mpok, itung itung hadiah buat lu neng” hibur mpok hindun pada Rena.
“oh iyaa mpok, kagak bakal dah Rena ribut, makasih banyak ya mpok, berangkat dulu, Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”

Setiap malam menjelang setelah shalat maghrib hingga pulang sekolah Handphone para siswa yang tinggal di asrama wajib dikumpulkan, tujuannya agar lebih fokus belajar baik disekolah maupun pelajaran agama di asrama, dan menghubungi orangtua ketika pada waktunya, jika ada urusan penting orangtua telah paham kepada siapa mereka menghubungi, yakni mentor di asrama baik asrama putri maupun putra.

“bete amat gua hari ini” ujar Rena dalam hati
“coba aja ada handphone, nelpon bunda deh minta di jemput ke Bandung” lanjutnya, namun kali ini suara nya cukup terdengar, hingga orang yang melihat ia sedang berbicara sendiri.
“Ren!” teriakan seorang laki laki terdengar terengah karena berlari.
Renata diam.
“Ren, teu ngadenge?”. Bahasa akrab cenderung kasar menghiasi hari mereka berdua.
“Apa” jawaban malas
“senyum dong.” Hibur Hakam lelaki yang selalu ada disamping Rena
“Naon sih” Rena ketus
“ulah sedih, ngke ku urang di traktir” salah satu sogokan Hakam yang selalu berhasil menghibur.
“haha asiik”
“nah gitu dong itu Renata nya Hakam” goda Hakam
“duh kuingin salto. urang nu bapa urang”
“dan punya dia?”
“iya lah hahha, kagak deng pacaran sama orang di masa SMA tuh hiburan, kagak tau dah kita dimasa depan bakalan sama siapa, yang penting kita sekarang, yang nentuin kita mau jaga diri atau nakal di masa muda itu kita sendiri”
“duuh kuingin mudik. Wise amat lu, urang gak minta di ceramahin, urang juga tau makanya urang kagak mau lu cemberut gara-gara cowok, apalagi Cuma gara gara si anak osis siapa dah? Budi haha”
“Bari kali Budi , Budiman Bus malam”
“Bodo amat, pokonya Renata nya Hakam kagak boleh di bikin nangis”
“duuh kuingin muntang. Iya deh Hakam , thanks for all”
“udah nyampe, urang ke kelas dulu yak, lu jangan lupa jalan pulang, urang Rumah lu”
Renata diam.
Hakam Senyum.

Renata dan Hakam berasal dari Kota yang sama yakni Bandung, mereka bertemu di Jakarta saat daftar di National Senior High Boarding School, orangtua Hakam mengajak orangtua Renata pulang bersama karena orangtua Renata tidak membawa kendaraan. Hakam tertarik dan mulai peduli dengan Renata sejak pandangan pertama ketika ia bertemu. Renata pribadi yang kuat, mudah bersosialisasi dan selalu ceria namun kurang peka dengan perasaannya, meski begitu Hakam tidak peduli yang penting ia selalu ada dan siap pasang tameng untuk Rena kapanpun.

“Ren, lu kemarin gak apa apa?” ujar Erwin
“Engga ko win, makasih ya udah nolongin”
“kaget gua, ada orang jahat kaya gitu sekitar sini, ngelewat lagi sekali gua kejar dah” Erwin bersemangat.
“gimana lagi gua aja shock, lemes langsung gak bisa ngapa ngapain”
“tapi bener sekarang udah gak apa apa ?
“baik-baik aja ko, makasih ya win”
“tenang aja ada gua, ada Hakam , ada Nirina, ada guru wali, ada guru Boarding lu disini, jangan sungkan bilang kalo ada apa apa”
“okay, thanks a lot Er”

Bel berbunyi, waktunya apel pagi rutin di lapangan.

Renata, Erwin dan Nirina berbaris di barisan kelasnya. Dan Hakam ada di barisan kelasnya. Namun di tengah apel pagi seorang laki-laki berbaris menyelinap di samping Renata, menyingkirkan Erwin ke belakang.

“Nata”
Ia diam, Rena tau yang memanggil Nata hanya Bari dan Hakam, namun kali ini suara Bari, Kekasihnya.
“aku denger kabar, kamu kena Jambret?”
Rena mengangguk.
“Sabar ya, Bari tau kamu ngedown, cerita aja”
“oke, makasih ya Bari”
“Bye, Bari mau ke Barisan lagi, smile please!”
Senyum.
“Bye”.

Seketika Renata mengingat jelas kejadian kemarin.
Siang itu ketika Renata hendak mengirimkan berkas penting untuk keperluan perguruan tinggi pada Bundanya, ia berljalan menuju Kantor POS, Berjalan menyusuri jalan yang memang terbiasa sepi kecuali waktu berangkat dan pulang sekolah. Kiri kanan Pohon Karet dan Aren dan terlihat hanya ada beberapa rumah dengan jarak yang tidak berdampingan.
Ada telpon.

“kamu free hari ini?” suara Bari
“Mau ke Kantor POS, ada apa?”
“Bisa ke Rumah?” . Bari yang kebetulan bukan anak asrama, ia hanya satu sekolah dengannya. Jadi sekolahnya yang ada kelas boarding hanya anak asrama.
“Engga, abis ini mau Les” ucap Renata.
“oh yaudah, bye”
“Bari kenapa tiba tiba ngajak ke rumah?” gumam Renata.

Baru saja ia menutup telpon nya dari Bari. Ada motor melintas dari arah berlawanan. Seperti mengawasi Renata sejak tadi. Namun motor itu berhenti tepat 5 meter di belakang Renata. Sesekali Rena menengok ke belakang, orang tersebut melihat dari kaca spion. Rena takut dan berjalan lebih cepat dari sebelumnya. Namun suara motor itu tiba-tiba mendekat. Dan kejadian itu tidak mampu ia lupakan.
            Renata hanya bercerita pada Nirina. Bahwa diri nya bukan hanya di Jambret, namun terkena pelecehan seksual meski pelaku hanya baru menyentuh, kejadian itu cepat, namun ia terlanjur berlari setelah menendang motor pelaku dan teriak, ia salah satu atlet bela diri, namun tetap saja disaat begitu seorang wanita pada umumnya tak mampu menahan rasa takut jika tertekan dan selalu muncul perasaan “merasa Kotor” meski untungnya ia tidak dibawa kesuatu tempat dan di perlakukan lebih jahat dari itu, ia beruntung dari Jauh Erwin berteriak dan mengejar namun tak terkejar karena pelaku menaiki motor sangat kencang. Namun dari jauh Erwin hanya melihat pelaku menJambret tas Renata, Erwin tidak melihat pelecehan yang terjadi. Beruntung Renata memberontak.

“Hakam mana?” tanya Nirina pada Erwin

Pertanyaan itu membuyarkan lamunan Renata lagi.

“sebentar lagi juga kesini, Tuh!” jawab Erwin sambil menunjuk kearah tangga.
“Hai Erini, Nirmanto, Renot” Ledek Hakam yang Hobby mengubah nama orang seenaknya.
Huuu! Lemparan kacang atom tepat pada sasaran di jidat Hakam.
“Siapa yang berani lempar pangeran?”
“Urang, ada masalah?” Renata ketus
“Eh Renatanya Hakam, mau Baso mau?”
“lu pikir urang nangkring lama mau nunggu Bari?”
“Budi lagi Budi lagi, Hakam kali kali, yaudah bentar” Hakam mulai masam.
“nih neng, tong, ko Cuma 2 mangkok? Ngirit amat bukannya kalian ber4 loh” (Tong adalah Entong yakini panggilan untuk anak laki laki di betawi) ujar bang Boni
“kagak bang, kita mah nyamuk disini, nemenin si Hakam yang gak pernah berhasil menju hati Rena” ledek Nirina.
“OTEWE bung, tenang, masa depan masih suci meski masa lalu ku gelap, jodohku masih dijaga orang” Hakam sangat percaya diri.

Renata diam. Ia kembali teringat dan merasa dirinya kotor hingga kini.
“Udah, aku percaya kamu mampu anggap hal ini menjadi batu loncatan, meski jalan ini gelap bagimu, masih banyak jalan aman, nyaman dan terang yang bisa kau lalui” Bisik Nirina.

“ngomongin urang, urang mempesona?” Hakam menepuk meja.

Renata masih diam. Kali ini Hakam mengerti, masalah ini sangat berat terlebih setelah Hakam tau apa yang terjadi sebenarnya dari cerita Nirina yang ia paksa untuk memberi tahunya.

“Ren, Minggu ini Hakam telpon Ayah, Hakam mau pulang ke Bandung, kau ikut ya, Hakam tau kamu kangen Bunda mu.” Hakam berinisiatif sendiri tujuannya agar Rena lega.
“Oke Kam, makasih banyaaak.” Senyum Renata kembali. Meski Hakam kasar, ia memiliki sisi lembut yang lagi-lagi untuk Renata.

Bari melihat dari jauh dengan wajah tak menyenangkan, karena Hakam selalu ada.

“Ren, ada Bari” Bisik Nirina
“Oh iya biarin nanti aja abis ini, tanggung” Rena asik seakan tak mau melewatkan kenikmatan makan

            Bari masih disana, ditempat yang sama, senyum yang berbeda. Renata sesekali melihatnya, dan merasa kali ini Bari benar benar berbeda.
            Kantin siang itu sangat riuh, mereka membicarakan sesuatu yang mengejutkan. Beberapa teman mengangkat topik yang di duga apa yang Renata alami kemarin.

“heboh ada cewe sekolah kita yang kena Jambret, lu liat?” mereka bernada suara tinggi
“gua liat dari Jauh. Gua pake motor, gua kejar kan, si pelaku pake masker gitu, kulit putih, tinggi nya se ukuran gua, pake jeans, kaos biru dongker dan sweater abu, sepatu adidas biru dongker”
“lu gak liat motor nya apa?, kasian kan temen satu sekolah kita, stress kayanya.”
“lupa, kalo ga salah motor semi trail, warna hijau muda”
“plat nya?”
“boro- boro gua inget”

Hakam mulai antusias, “gua duluan ke kelas”. Ucapnya sambil berlari

Seminggu berlalu, tak ada kabar dari Bari begitu pula Hakam, hanya orangtua Hakam yang datang menjemput Renata pulang ke Bandung. 
Orangtua Hakam “Hakam lagi ada urusan neng, kamu pulang sama tante ya, nanti Hakam nyusul katanya”.
Renata hanya tersenyum, seolah apa yang terjadi pada dirinya tempo hari membuat semangatnya berkurang.

Selama Renata di Bandung, Nirina bercerita lewat video call, bahwa pelakunya diduga kuat anak sekolahan mereka. Ciri-ciri yang jelas ia ceritakan pada Renata.

“Ren, dia Bari” Nirina berbicara perlahan.

Renata diam, kali ini ia kaget bukan main, perasaan kotor tentu saja masih sama.
“kamu sabar ya, tinggal kamu yang pilih, 2 tahun sama Bari ternyata ia gini, kamu tahu siapa yang memecahkan teka-teki ini?. Kali ini Nirina serius

Rena tetap diam. Namun wajahnya berubah berkerut penuh tanya.
“Hakam”. Nirina mengatakan dengan senyuman.

            Saat itu ia tau Hakam tidak berkabar begitu pula Bari, ia mendapat informasi Hakam di rawat karena luka keroyok, namun dimana Hakam tidak ada yang memberi tahu, begitu pula orang tua hakam.
            Entah bagaimana selanjutnya, ia tak mampu mengingat lebih jauh karena kejadian itu sangat lama, kejadian itu membuat Renata ketika menjadi Mahasiswa lebih supel dan super Freindly dan menghindari hubungan dekat dengan laki-laki, yap pacaran, kali ini ia selalu senang di sindir teman teman nya “Jomblo, Single, Belum laku” ia senang karena ia merasa aman dengan keadaannya yang sekarang. Ia lebih menekuni pelajaran agama dan umum di kuliahnya, jika ia sebut itu trauma mendalam, ya ia trauma, sangat. Hingga jurusan yang ia ambil ialah Psikologi di universitas favorite di Bandung, tujuannya menyembuhkan luka dirinya sendiri.

“Nata, ayo makan” Teriakan bunda memecahkan lamunan Renata yang sedang mengenang.
“Oke bun”.Renata tersenyum.

Semenjak Lulus SMA mereka Renata dan Hakam tak pernah bertemu, kecuali saat upacara, Hakam selalu menjadi pemimpin upacara karena ia Paskibraka Sekolah yang terpilih di Provinsi Banten. Dan hingga kini. Mengenang kebaikan Hakam membuatnya senang.

Sore itu Renata pergi ke Toko buku ditemani Bunda. Ia membeli Novel terbaru yang katanya diangkat dari Wattpad (salah satu aplikasi tulisan, novel dan buku lain karya orang orang seluruh dunia yang menggunakna Wattpad, didalamnya satu akun bebas menulis karyanya, jika ada editor dan penerbit yang tertarik akan di bukukan).

“Bun, novel ini best seller bulan ini, aku beli ya”
“Boleh, coba liat” Bunda mulai Kepo.
Renata memberikan tanpa membaca dulu.

“Ren, ini Hakam?”
“Hah?, mana?”
Novel Best Seller “Kagum Tak Berdosa”. Oleh Hakam Arshaka.

Renata membuka novel dan membaca Epilog : (dihalaman terakhir)
Mulai saat itu, aku sadar, aku tak berhasil menjaga mu dalam dekat, dalam dekap. Lebam ku tak seberapa sakit dibanding daku merasa sesal, aku gagal mengawasinya, karena aku lalai dia mengalami trauma mendalam dalam hidupnya. Andai saat itu aku disana, di belakangnya mengawasinya. Aku tak mau bertemu dengan mu selain dalam do’a. Mengingat hari itu aku merasa tak mengagumkan. Biar Tuhan yang menulis takdir kita. Bagiku menjauhimu adalah cara Tuhan memberi waktu untuk memperbaiki sayapmu yang patah. Aku seorang pendaki yang belum pernah berhasil mengambil bunga yang ada di puncak. Karena kagum tak berdosa, sampai saat ini aku masih mengagumimu.”

Hakam yang melanjutkan kuliah di Yogja tanpa Renata ketahui, diam diam ia menjaga Rena dari jauh, mengawasi dan tentu mengagumi dari jauh. Dan berhasil membuat Novel Best Seller dari Penerbit Yogyakarta.

“Hakam... Hakamku.., urang baper, urang kangen, urang yang tak lagi mengagumkan geura pulang, kuingin muntang. Semoga Tuhan melindungimu” . Bahasa yang sering di gunakan ketika mereka berbicara. Renata sungguh Rindu.
Tetesan air mata Renata meninggalkan Rindu yang sesak. Ia sadar, trauma psikologis nya dapat sembuh alasannya, demi Hakam.


Done.

Cerita ini hanya Fiktif belaka. Maaf bila ada kesalahan dan persamaan adegan *tsaah kalimat akhir FTV.
Tamat boleh, Bersambung mangga. Karena Kagum mah ga dosa.
Tertanda, Makhluk Tuhan yang mengagumi Tuhan dan CiptaanNya.

Sofia Farzanah Sulaeman.

Tasawuf Psikoterapi 2014- D
Previous
Next Post »